Makalah ISLAM DAN RADIKALISME Bagian 1


PENDAHULUAN

Era globalisasi dunia dalam berbagai sudut kehidupan yang di harapkan memajukan berbagai faktor kehidupan ternyata juga membawa dampak negative,dan itu terjadi di seluruh penjuru dunia,termasuk juga di Indonesia.permasalahan yang kompleks pada kehidupan ini menuntut kita untuk lebih berfikir lebih tajam,detail dan terperinci.ini sangat penting,karena ini menyangkut keberadaan suatu negara,mengingat pernah adanya suatu negara yang hilang lost of generation.ini sangat di sayangkan karena Indonesia adalah irisan surga,se akan-akan surga pernah bocor dan menciprat ke bumi yang bernama Indonesia.sejak dahulu kala Indonesia sudah menjadi incaran dari orang,corporate atau bahkan negara lain.

Di mata kaum orientalisme barat,keberadaan bangsa Indonesia sangat di pertimbangkan,selain Indonesia merupakan kekuatan terbesar di asia tenggara, Indonesia juga merupakan suatu negara dengan penduduk islamnya terbesar di dunia.dan terdapat indikasi bahwa adanya scenario penghambatan dari perkembangan bangsa Indonesia. 

Kita melihat dalam kalangan internal umat Islam sendiri yang sering konflik di tambah intervensi dari luar islam. Salah satu permasalahan yang di hadapkan kepada bangsa Indonesia adalah tentang kekerasan yang di lakukan oleh beberapa orang yang mengatasnamakan islam. Memang secara penampilan luar mereka memakai simbol-simbol islam,namun kebanyakan orang awam menerjemahkan hal itu merupakan wujud Islam yang sebenarnya sehingga terjadi karakter asasination (pembunuhan karakter) secara buta tanpa mau melihat lebih dalam lagi.

Terbukti di lapangan terdapat pro dan kontra terhadap tersangka radikalisme. Itu menunjukkan bahwa di masyarakat cenderung menggunakan paradigma  berfikir yang salah kaprah dan memblacklist suatu kejadian berdasarkan apa yang di lihatnya sesaat. Maka untuk itu kami coba menghadirkan satu pemikiran untuk belajar menganalisa kronologi, sehingga terhindar dari kesalahan memvonis seseorang ataupun sekte tertentu.

Dengan harapan dapat di jadikan sebagai referensi untuk berfikir lebih moderat,  khususnya di kalangan internal umat islam sendiri tidak mudah terprovokasi dan menyalahkan satu sama lain. sehingga kita dapat memayu hayuning bawana (menjaga kedamaian kehidupan), dan akhirnya dapat menjadikan kehidupan beragama, bernegara dan berbangsa menjadi satu misi dan visi yang sama untuk kedamaian tanpa melihat perbedaan yang ada.



BAB I
RADIKALISME

A.                Pengertian
RADIKAL dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sedangkan radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan. Dalam perkembangannya, radikalisme kemudian diartikan juga sebagai faham yang menginginkan perubahan besar.

Menurut sebagian ahli, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.


Dalam hal radikalisme paham keagamaan Islam, yang biasanya dipergunakan adalah adanya isu tentang pemurnian akidah, di mana pihak yang lain yang tidak sejalan dengannya dianggap sebagai bid'ah dhalalah. Yang sering juga dikembangkan dalam upaya menolak cara pandang yang berbeda dalam hal pemahaman keagamaan ialah dikotomi antara sistem thaghut dan sistem Islami. Sistem thaghut diidentifikasi sebagai aturan-aturan yang tidak ada cantolan secara tegas dalam nushush syariyah, sedang sistem Islami merupakan aturan yang didasarkan pada nushush syariyah. Dikotomi ini terkesan sangat menyederhanakan masalah. Padahal banyak sekali aturan dalam agama yang tidak secara tegas ada cantolannya di dalam nushush syariyah. Sebagaimana diketahui nushush syariyah ada yang bisa difahami dengan arti manthuq-nya saja, namun ada pula yang harus difahami mafhumnya.


Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Dalam konteks radikalisme paham keagamaan biasanya kelompok ini memaksakan pemahaman keagamaannya dan ada agenda yang jelas untuk mengganti aturan-aturan yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka, dengan cara apapun, bahkan jika diperlukan dengan mempergunakan cara kekerasan sekalipun.


Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.

Radikalisme Islam di Indonesia sering diassosiasikan secara tidak tepat. Namun, dalam artian lain,esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Lalu bagaimana seharusnya? Makna Assosiatif Radikalisme pecahan dari dua kata radikal dan isme. Kalau radikalisme menjadi satu kata dan bila dirujuk pada diksi, pilihan kata itu sebenarnya adalah assosiatif artinya ia bisa menjadi sebuah makna tersendiri, baru dan beda dari asal maknanya yang denotative. Untuk mengambil misal sebuah kata panjang lengan itu dihubungkan dengan baju panjang tangan. Lain halnya dengan panjang tangan, maknanya assosiatif yaitu pencuri. 
Secara demikian pengertian radikalisme, adalah satu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia Ikhtiar Baru :l995) dalam penjelasan lebih lanjut, aliran paham politik dimaksud menghendaki pengikutnya perubahan yang ekstrem sesuai dengan pengejawantahan paham mereka anut. 
Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan (Barry, Kamus Ilmiah Populer : l994). 
Dihubungkan dengan radikalisme Islam di Indonesia, yang dimaksud adalah paham aliran gerakan Islam di Indoenseia yang menghendaki perubahan drastis sesuai dengan ide dasar mereka dan kecenderungan tindakan itu melalui kekerasan. 
Pendapat Prof Haigh Katchadhourian dari University of Wisconsin, Amerika, berkaitan dengan tindakan radikal dalam hubungan moral. Haigh menyatakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal maupun teroris, adalah salah dalam hukum moral. Katanya sekalipun ditujukan untuk maksud pencapaian keadilan atau untuk merubuhkan rezim yang zalim salah secara moral. Karena mengacu ke dalam prinsip perang tradisional, toh tidak ada manfaatnya dan tidak dibenarkan jatuhnya korban manusia tidak berdosa. 
Tetapi pendapat yang tidak bisa menerima secara hukum moral, seperti paparan di atas oleh Prof Haigh dibantah oleh Prof Burleigh Wilkins ahli filsafat dari Universitas California itu dalam hal tertentu teroris atau tindakan radikal dapat dibenarkan secara moral. Ia memfokuskan pikirannya atas situasi keberdosaan masyarakat secara kolektif. Ia mengambil contoh kasus Yahudi di Jerman di bawah Adolf Hitler. Dosa kebersamaan itu dipikul oleh bangsa Jerman sebagai mana pula kejahatan etnis kolektif Yahudi sebelumnya ditanggungjawabkan oleh etnis Yahudi. Menurut dia ini adalah tanggapan bangsa Jerman yang tanpa dendam terhadap etnis Yahudi. “Karena bukan dendam” kata Wilkins dapat dibenarkan secara moral. Tapi menurutnya hal ini hanya bisa di peruntukkan dalam kasus yang khusus sifatnya. Itulah beberapa pandangan ahli tentang radikalisme dalam perspektif perubahan, perspektif hukum moral dan keberdosaan kolektif. 
Hanya sayangnya untuk kasus Indonesia ini, pemahaman terhadap radikalisme yang sebenaanrya adalah positif dan ada negatif sulit dipahami awam.
. Mengapa demikian karena unsur radikal itu berbatasan dengan dua ufuk yaitu satu ufuk yang disebut islah dan tajdid dan radikalisme dengan inti ekstrim adalah ghuluw (melampaui batas) dan ifrath (berkelebihan). Sehingga makna asosiatif yang ditangkap adalah makna yang negatif belaka. 
Padahal, makna posisitf dari radikalisme adalah spirit perubahan menuju yang lebih baik itu. Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan). Dengan begitu radikalisme bukan sinonimnya ektrimitas, kekerasan. Apa yang disebut Ghuluw (melampaui batas) dan Ifrath (keterlaluan) kita tolak. Memang ada dua spirit perubahan di situ yaitu positif dan negatif. Kita mengusung perubahan dalam maknanya yang positif. Keteledoran Sejarah? Secara demikian gambaran hakikat Islam itu tentu perlu diperjelas. Artinya hakikat Islam itu adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, objektivitas, fariness. Selanjutnya Islam menginginkan menjadi umataan washataa. “Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul ( Muhammad) menjadi saksi atas (pebuatan) kamu. Al Baqarah 143.

B.                 Latar belakang munculnya radikalisme
Menurut sebagian kajian, akar dari munculnya radikalisme ini bermacam-macam, ada yang karena faktor sosial politik, faktor emosi keagamaan, faktor kultural, faktor ideologis anti-Barat, dan faktor kebijakan pemerintah.

Terkait dengan akar munculnya radikalisme paham keagamaan tidak terlepas dari adanya pemahaman keagamaan yang didasarkan atas makna literer dari dalil-dalil al-Quran dan al-Hadis. Pemahaman terhadap dalil syari hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan literer ini membahayakan, karena dapat menggelincirkan seseorang dalam kesalaham pemahaman nash. Karena dalam pengambilan suatu hukum dari dalil-dalil syari (istinbath al-hukm) harus melewati seperangkat metodologi yang telah diformulasikan oleh para ulama, baik dengan cara pemahaman terhadap makna harfiah dari nash (manthuq) ataupun dengan cara menggali lebih dalam makna tersembunyidari nash (mafhum). Apabila pemahaman terhadap nash ini dipaksakan hanya dengan mempergunakan cara pemahaman literer, apalagi kalau tidak diimbangi dengan penguasaan yang mendalam terhadap nash-nash syari yang ada, karena pemahaman terhadap nash secara literer dan parsial cenderung bisa menyesatkan, dan dikhawatirkan akan timbul pemahaman yang ekstrim (tatharruf) dalam menyimpulkan hukum.


Misalnya pemahaman tentang teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan syariat jihad. Kelompok radikalis memahaminya sebatas dengan bunyi nashnya saja yakni dipahami dengan arti perang (qital). Padahal, menurut para ulama, jihad juga mempunyai makna lain, yaitu upaya sungguh-sungguh dalam melakukan perbaikan. Di samping mempunyai makna qital (perang), jihad juga mempunyai makna ishlah (perbaikan).


Dalam perkembangannya, ada pula upaya dari pihak-pihak tertentu yang mengidentikkan jihad dengan teror. padahal pada kenyataannya, jihad bukanlah teror dan teror bukanlah jihad.
Bila dikaji kembali ke belakang, berkembangnya kelompok-kelompok islam radikal di Indonesia sebenarnya bukan tanpa sebab. Ada runutan sejarah yang jauh hari di masa sahabat sudah mulai memperli hatkan gejala itu. Khawarij, kelompok pecahan pada era pemerintahan Abbasyiah abad 18 tidak terlalu berlebihan kalau disebut sebagai awal mula berdirinya faksi islam garis keras.
"Sahabat-sahabat mungkin sudah paham dengan tragedi fitnah menyusul wafatnya Utsman bin Afan, yang lalu diikuti dengan naiknya Sayyidina Ali ke tampuk pemerintahan," ungkap dosen Antropologi Universitas Paramadina Arif Zamhari.
Dalam sejarahnya, jelas Arif, kaum Khawarij tak jarang melakukan berbagai bentuk terror dan kejahatan atas nama jihad fi sabilillah. Secara genetic, khawarij yang berrarti kelompok sempalan, adalah kelompok baru yang lahir pasca perpecahan yang terjadi antara dua kubu Ali dan Muawiyah.
Radikalisme kelompok Khawarij, banyak lahir mula-mula dari cara pandang mereka yang sempit tentang dunia. Semangat melaksanakan syiar Islam dilakukan denganjalan menerjemahkan kitab suci Al-Qur'an secara literal. Akibatnya, sudut pandang yang muncul dari kelompok ini kemudian hanyalah dua warna hitam dan putih. Kejahatan dan Kebaikan. Surga dan Neraka.Namun meski demikian, menurut Arif, masih ada beberapa hal yang patut ditiru secara positif dari kelompok Khawarij. Dalam menjalankan roda keorganisasian, mereka tidak lagi memakai sistem keturunan. Integritas moral dan kedalaman pengetahuan akan hukum-hukum Allah, lebih dijadikan syarat utama.

Saat ini radikalisme bergeser dari cara berfikir secara filsafat berubah menjadi gerakan politik keagamaan, bukan agama, tapi agama yang dipolitisir Yaitu orang beragama yang menganggap hanya dirinyalah yang benar, sedangkan orang lain salah, hanya dirinyalah yang masuk surga, sementara yang lain masuk neraka, menilai lemah iman orang Islam di luar dirinya dan kelompoknya karena hanya membela Islam dengan kata-kata, tidak dengan perbuatan seperti yang telah mereka lakukan. Ada radikalisme dalam bidang politik; radikalisme suatu negara yang lemah melawan pendudukan negara yang kuat dengan bom bunuh diri atau menggunakan cara-cara yang lain yang yang mengancam jiwa pelakunya. Untuk memotifasi hal ini, mereka menggunakan idom-idom keagamaan, seperti janji surga dan kedudukan yang mulia di sisi Tuhan. Inilah yang dipompakan ke dalam benak para radikalis. 
Jadi, agama adalah faktor dominan yang menyebabkan terjadinya terorisme? 
Tidak hanya agama, tapi juga kemiskinan. Orang-orang yang terlibat terorisme adalah orang-orang yang sosial ekonominya lemah. contohnya di Palestina, orang-orang yang tinggal di asrama Pelastina hidupnya susah dan melarat. Inilah yang membuat mereka memilih lebih baik mati berperang daripada mati kelaparan. 
Adakah penyebab terorisme selain agama dan kemiskinan?
Faktor-faktor lain yang menyebabkan terorisme adalah penindasan, keterbelakangan sosial dan ekonomi serta rendahnya pendidikan. 

Ke bagian 2

Kalau ada uneg-uneg jangan sungkan-sungkan untuk menuliskan di form komentar.

Lebih baru Lebih lama