yang berat bagi keluarga Bapak Raden Soemowardojo yang sehari-hari bekerja sebagai mantri penjual.
Adapun Raden Soemowardojo (ayah pakde Narto), mempunyai putra delapan orang, yakni: R. Koesen, R. Koesno, R. Ismail, Rr. Ismonah, Rr. Soenarni, R. Soenarto, Rr. Soenarti, dan yang terakhir R. Soenarjo. Pada waktu riwayat hidup Pakde Narto ditulis, ke delapan putra-putri Raden Soemowardojo tersebut hanya tinggal R. Koesen, R. Ismail, Pakde Narto sendiri.[8]
Sebagai pegawai rendah yang gajinya kecil (f15 perbulan)[9] dengan tanggungan keluarga yang sebesar itu, Raden Soemowardojo sekeluarga hidup dengan serba kekurangan dan bahkan menderita kemelaratan hidup, beban dipundak serasa makin hari makin bertambah berat.
Walupun dihimpit oleh keadaan yang serba kekurangan dan tidak menguntungkan, beliau berkeinginan kuat untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Oleh karena itu, bapak Raden Soemowardojo berniat untuk menitipkan R. Soenarto kepada keluarga atau kerabat bahkan kepada orang lain yang tidak ada hubungan kekeluargaan, dengan harapan orang yang dititipi dapat membantu R. Narto mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik.
Ini pulalah yang menjadi titik awal dari masa pencarian yang panjang. Masa Ngenger kepada orang lain dengan berpidah-pindah yang dialami R. Narto selama 15 tahun merupakan ajang tempaan watak narima, berkorban perasaan dan sabar yang harus dijalani R. Narto dalam usia yang masih sangat muda. Menghadapi keadaan itu, beliu tidak pernah mengeluh kepada ayah bundanya ataupun kepada orang lain. R. Narto juga menunjukan sikap jiwa yang teguh berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika beliau beranjak dewasa, keinginan untuk terus mencari dan memahami keesaan Tuhan beserta semesta alam dan seisinya semakin
[8] Ibid,, p. 3
[9] Rupiah di zaman Hindia Belanda.
Kembali ke bagian 5
Artikel Lain:
Adapun Raden Soemowardojo (ayah pakde Narto), mempunyai putra delapan orang, yakni: R. Koesen, R. Koesno, R. Ismail, Rr. Ismonah, Rr. Soenarni, R. Soenarto, Rr. Soenarti, dan yang terakhir R. Soenarjo. Pada waktu riwayat hidup Pakde Narto ditulis, ke delapan putra-putri Raden Soemowardojo tersebut hanya tinggal R. Koesen, R. Ismail, Pakde Narto sendiri.[8]
Sebagai pegawai rendah yang gajinya kecil (f15 perbulan)[9] dengan tanggungan keluarga yang sebesar itu, Raden Soemowardojo sekeluarga hidup dengan serba kekurangan dan bahkan menderita kemelaratan hidup, beban dipundak serasa makin hari makin bertambah berat.
Walupun dihimpit oleh keadaan yang serba kekurangan dan tidak menguntungkan, beliau berkeinginan kuat untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Oleh karena itu, bapak Raden Soemowardojo berniat untuk menitipkan R. Soenarto kepada keluarga atau kerabat bahkan kepada orang lain yang tidak ada hubungan kekeluargaan, dengan harapan orang yang dititipi dapat membantu R. Narto mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik.
Ini pulalah yang menjadi titik awal dari masa pencarian yang panjang. Masa Ngenger kepada orang lain dengan berpidah-pindah yang dialami R. Narto selama 15 tahun merupakan ajang tempaan watak narima, berkorban perasaan dan sabar yang harus dijalani R. Narto dalam usia yang masih sangat muda. Menghadapi keadaan itu, beliu tidak pernah mengeluh kepada ayah bundanya ataupun kepada orang lain. R. Narto juga menunjukan sikap jiwa yang teguh berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika beliau beranjak dewasa, keinginan untuk terus mencari dan memahami keesaan Tuhan beserta semesta alam dan seisinya semakin
[8] Ibid,, p. 3
[9] Rupiah di zaman Hindia Belanda.
Kembali ke bagian 5
Artikel Lain: