disingkat dengan “Pangestu”, yang berarti berkah atau zegen, yakni berkahnya sang Guru Sejati kepada para siswa yang taat dan berbakti.[6] Seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar Pangestu pasal 1 ayat 2; yang dimaksudkan dengan Paguyuban ialah persatuan, Ngesti ialah memohon, Tunggal ialah tunggal. Paguyuban Ngesti Tunggal berarti: Persatuan untuk dapat bertunggal,[7] seperti yang tertera di tujuan dari Paguyuban Ngesti Tunggal.
Kemudian Sang Guru Sejati pun telah berkenan pula memberi pedoman bagi Pangestu, yaitu yang kita kenal dengan nama “Dasa Sila”.
Begitulah Pangestu dilahirkan dalam panasnya api revolusi, di tengah-tengah pekiknya kemerdekaan Negara Indonesia, yang disambut dengan hijan peluru, dentuman meriam dan mortar yang bersahut-sahutan dari kawan dan juga lawan.
Sebenarnya kelahiran Aliran Kebatinan Pangestu tersebut merupakan ujian bagi Pakde Narto dan para pengurus lainnya karena adanya larangan berkumpul dan berkelompok dari pihak Belanda.
Setelah Pangestu berdiri, para siswa diberi tahu bahwa setiap malam jum’at diadakan Olah Rasa bersama-sama dirumahnya Pakde Narto dijalan Gondang 7. Para siswa diminta datang sebelum pukul enam sore karena adanya jam malam, lagi pula caranya datang tidak berbondong-bondong, melainkan secara berangsur-angsur, semua dilakukan secara diam-diam. Berkat lindungan Sang Guru Sejati Olah Rasa selalu berjalan lancar, tak pernah ada gangguan apa pun. Sedangkan pada malam itu terpaksa dilakukan semalam suntuk karena jam malam tidak memungkinkan para siswa pulang malam-malam. Apabila rasa mengantuk menyelimuti mereka, maka tidurlah para siswa beralaskan tikar sampai pagi hari. Selepas jam malam pulanglah mereka ke rumah mereka masing-masing secara berangsur-angsur.
[6]Ibid, p. 107
[7]Ibid, p. 107
Kembali ke bagian 3
Lanjut ke bagian 5
Kemudian Sang Guru Sejati pun telah berkenan pula memberi pedoman bagi Pangestu, yaitu yang kita kenal dengan nama “Dasa Sila”.
Begitulah Pangestu dilahirkan dalam panasnya api revolusi, di tengah-tengah pekiknya kemerdekaan Negara Indonesia, yang disambut dengan hijan peluru, dentuman meriam dan mortar yang bersahut-sahutan dari kawan dan juga lawan.
Sebenarnya kelahiran Aliran Kebatinan Pangestu tersebut merupakan ujian bagi Pakde Narto dan para pengurus lainnya karena adanya larangan berkumpul dan berkelompok dari pihak Belanda.
Setelah Pangestu berdiri, para siswa diberi tahu bahwa setiap malam jum’at diadakan Olah Rasa bersama-sama dirumahnya Pakde Narto dijalan Gondang 7. Para siswa diminta datang sebelum pukul enam sore karena adanya jam malam, lagi pula caranya datang tidak berbondong-bondong, melainkan secara berangsur-angsur, semua dilakukan secara diam-diam. Berkat lindungan Sang Guru Sejati Olah Rasa selalu berjalan lancar, tak pernah ada gangguan apa pun. Sedangkan pada malam itu terpaksa dilakukan semalam suntuk karena jam malam tidak memungkinkan para siswa pulang malam-malam. Apabila rasa mengantuk menyelimuti mereka, maka tidurlah para siswa beralaskan tikar sampai pagi hari. Selepas jam malam pulanglah mereka ke rumah mereka masing-masing secara berangsur-angsur.
[6]Ibid, p. 107
[7]Ibid, p. 107
Kembali ke bagian 3
Lanjut ke bagian 5