1. Faktor Sosial:
Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang.
Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.
Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang.
Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.
2. Faktor Psikologis:
Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya.
Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya.
Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.
3. Faktor Pendidikan:
Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.
Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.
Demikianlah penjabaran enam faktor penyulut terorisme, semoga dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergeis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah. Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertaqwa dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat.
Dengan langkah ini kita memohon kepada Allah Swt, semoga bangsa dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan janji dan spirit al-Qur’an:
Yang artinya: Seandainya penduduk suatu kaum itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan (agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu sendiri (Q.S. al-A’raf: 69).
Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.
Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.
Demikianlah penjabaran enam faktor penyulut terorisme, semoga dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergeis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah. Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertaqwa dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat.
Dengan langkah ini kita memohon kepada Allah Swt, semoga bangsa dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan janji dan spirit al-Qur’an:
Yang artinya: Seandainya penduduk suatu kaum itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan (agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu sendiri (Q.S. al-A’raf: 69).
A. Radikalisme dapat di lakukan siapapun dan di manapun
Radikalisme atau kekerasan yang memaksa dapat di lakukan siapa saja dan bisa terjadi di mana saja, kita ambil satu contoh anak yang di khitan, yang mana hal itu hanya bisa di lakukan dengan hanya radikal saja, karena jika hal itu di lakukan dengan moderat maka akan menyiksa sang anak yang hendak di khitan tersebut. Meskipun radikalisme bisa di lakukan oleh siapapun dan di manapun akan tetapi tidak lantas bisa di terapkan di manapun, misalnya dalam agama Radikalisme dalam beragama harus dicegah sejak awal. Dalam urusan melempar jumrah, misalnya, Rasulullah saw. pernah memperingatkan kita agar tidak berlebihan. Cukuplah dengan kerikil kecil saja. Melempar jumrah dengan batu sebesar kepalan tangan, misalnya, tidak akan menambah keutamaan ibadah tersebut. Bahkan dalam memperlakukan diri sendiri pun seorang Muslim tidak boleh bersikap berlebihan.
Membaktikan diri terhadap agama itu bagus, namun tidak berarti harus mengabaikan semua kenikmatan dunia. Justru sikap semacam inilah yang dikecam habis-habisan oleh Rasulullah saw., sampai-sampai beliau menegaskan bahwa mereka yang bersikap demikian itu bukanlah bagian dari umatnya.
Radikalisme atau kekerasan yang memaksa dapat di lakukan siapa saja dan bisa terjadi di mana saja, kita ambil satu contoh anak yang di khitan, yang mana hal itu hanya bisa di lakukan dengan hanya radikal saja, karena jika hal itu di lakukan dengan moderat maka akan menyiksa sang anak yang hendak di khitan tersebut. Meskipun radikalisme bisa di lakukan oleh siapapun dan di manapun akan tetapi tidak lantas bisa di terapkan di manapun, misalnya dalam agama Radikalisme dalam beragama harus dicegah sejak awal. Dalam urusan melempar jumrah, misalnya, Rasulullah saw. pernah memperingatkan kita agar tidak berlebihan. Cukuplah dengan kerikil kecil saja. Melempar jumrah dengan batu sebesar kepalan tangan, misalnya, tidak akan menambah keutamaan ibadah tersebut. Bahkan dalam memperlakukan diri sendiri pun seorang Muslim tidak boleh bersikap berlebihan.
Membaktikan diri terhadap agama itu bagus, namun tidak berarti harus mengabaikan semua kenikmatan dunia. Justru sikap semacam inilah yang dikecam habis-habisan oleh Rasulullah saw., sampai-sampai beliau menegaskan bahwa mereka yang bersikap demikian itu bukanlah bagian dari umatnya.
Salah satu keburukan yang ditimbulkan dari radikalisme adalah kebencian dan futur. Jika kita memaksa orang lain untuk beribadah dengan mengikuti standar yang berat, maka besar kemungkinan mereka akan membenci kita, atau lebih parahnya lagi akan membenci Islam. Padahal Islam memudahkan mereka, dan tidak bermaksud untuk menyusahkan. Jika kita memaksa diri sendiri untuk beribadah dengan standar yang terlalu berat, maka kita pun bisa terpental dari barisan lantaran futur, alias kehabisan energi motivasi akibat jenuh. Atau, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, bagaikan “tidak ada lagi jalan yang bisa dilintasi dan tidak ada lagi kendaraan yang tersisa”.
Masih banyak jenis sikap radikal dalam beragama yang lainnya. Ada orang yang menganggap bahwa mas kawin haruslah dalam jumlah tertentu, padahal ia adalah hak calon istri dan tidak ada standar yang wajib dipenuhi selain berdasarkan permintaan calon istri saja. Ada yang menganggap bahwa mengikuti suatu jamaah adalah wajib, padahal ada jamaah-jamaah lain yang juga berkhidmat kepada Allah. Ada yang menganggap mazhabnya paling benar, padahal para imam mazhab pun tidak pernah berani memproklamirkan dirinya sebagai yang paling benar. Tidak usahlah kita membicarakan terlalu jauh hingga pada urusan politik yang penuh dengan pertumpahan darah. Bahkan hal-hal kecil pun bisa menjadi buruk di sisi Allah jika diwarnai dengan radikalisme. Jangankan suatu tindak kejahatan, bahkan ibadah pun jika berlebihan sudah dianggap menyimpang dari agama.
BAB II
RADIKALISMAE DI INDONESIA
A. Islam dan radikalisme di Indonesia
Negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan suku. Dan juga berbagai aliran kepercayaan,sehingga seringkali terjadi benturan-benturan internal yang bisa di manfaatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan,baik dalam politik,ekonomi,budaya maupun agama. Di mulai dari individu atau kelompok tertentu yang memiliki pemahaman yang dangkal dan radikal tentang Islam.karena Indonesia memiliki jumlah penganut Islam terbesar di dunia merasa berkepentingan untuk menjaga dan melindungi penganut Islam di Indonesia,namun dengan cara mereka sendiri.meskipun seringkali membentur norma-norma kemanusiaan.dan sangat di sayangkan pelakunya berasal dari luar Indonesia yang menyebabkan terjadinya anggapan dunia bahwa Indonesia adalah sumber munculnya radikalisme Islam.ini sangat mempengaruhi perkembangan Negara Indonesia dalam berbagai hal.terjadinya ketimpangan dalam negara Indonesia menimbulkan ketidak puasan individu-individu yang merupakan komponen utama penyusun bangsa,dan akhirnya memunculkan reaksi dengan berbagai cara. Hal ini semakin mempermudah pihak luar untuk mempengaruhi mereka dengan doktrin/ideologi beratasnamakan Islam,karena umat Islam sendiri memiliki fanatisme yang tinggi terhadap ajaran yang di terimanya.
Munculnya terorisme di Indonesia adalah sebuah akibat dari hal di atas. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan antisipasi dan juga reaksi atas hal tersebut dengan melakukan pengejaran,penangkapan,serta pemvonisan terhadap para pelakunya. Seperti halnya teroris yang di cari-cari oleh kepolisian Republik Indonesia ternyata berasal dari Negara Malaysia seperti Dr. Azhari dan Nurdin M. Top. Namun kepolisian mengalami berbagai kendala dalam penangkapan mereka karena pelaku sering merubah penampilan,identitas dan tidak menetap di satu tempat,hal ini sangat di dukung oleh para tangan kanannya yang berasal dari Indonesia dan tahu seluk beluk Indonesia.
Tindakan-tindakan sebagian warga Indonesia tersebut sangat merugikan masyarakat Islam di Indonesia secara keseluruhan. Sehingga masyarakat Islam yang tidak tahu menahu tentang tindakan-tindakan tersebut juga di anggap teroris oleh masyarakat dunia. Namun Syek Tantowi dari Al-Azhar menolak anggapan tersebut,dan menurut dia bahwa terorisme tidak ada hubungannya sama sekali dengan dakwah Islam. Pada akhirnya muncul sebuah pertanyaan dunia yang meresahkan umat Islam,Apakah pesantren merupakan sarang teroris, karena Amrozi dkk pernah menjadi santri di pondok pesantren Nguruki di Solo Jawa Tengah.
Sebenarnya pesantern tidak ada hubungannya dengan terorisme, karena rata-rata pesantren yang ada di Indonesia dipayungi oleh dua organisasi Islam besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Sedangkan NU dan Muhammadiyah adalah organisasi moderat, bukan organisasi teroris.
HAMPIR setiap kali terjadi kasus peledakan bom di Indonesia, selalu saja dikaitkan dengan radikalisme Islam, atau Islam garis keras, tidak terkecuali dengan kasus bom di Hotel JW Marriott dan The Ritz Carlton. Pertanyaan dan persoalannya adalah apakah benar para pelaku pemboman itu dari kelompok Islam garis keras, atau kelompok tertentu yang mengaku sebagai bagian dari umat Islam? Jika bukan, lantas siapa dalang di balik aksi pengeboman tersebut?Pesan yang terekam dalam kasus bom di Hotel JW Marriot dan The Ritz Carlton pada Jum’at (17/7) pagi sangat jelas. Pertama, adalah untuk mengundang perhatian dunia internasional. Karena target atau sasaran pemboman adalah hotel yang biasa dihuni orang asing dan juga berasal dari investasi asing. Dengan kejadian tersebut, hampir semua mata dunia ter-arah kepada dua lokasi tadi, dan secara umum Jakarta dan Indonesia.
Kedua, dengan kasus tersebut, secara tidak langsung sangatlah merugikan kepentingan Indonesia, baik secara politik, ekonomi atau hubungan lainnya dengan negara lain. Sebab bagaimana pun kasus tersebut menyebabkan citra Indonesia di mata dunia jatuh. Kasus itu membuat kepercayaan negara lain kepada kita runtuh dan kejadian tersebut pasti akan berakibat kepada rendahnya investasi asing di Tanah Air. Padahal kita sangat membutuhkan investasi asing untuk membangun perekonomian kita.
Ketiga, dengan melihat kepentingan nasional, bangsa dan negara yang lebih besar dan utama, rasanya sangat sulit dipercaya jika perbuatan pengeboman yang menewaskan sejumlah orang dilakukan atau pun didalangi orang Indonesia, terlepas mereka berasal dari agama apa pun. Apalagi mereka yang mengaku beragama Islam, karena Islam sendiri menganggap pembunuhan dengan alasan apa pun sebagai dosa besar. Sehingga sulit diterima dengan akal sehat, jika tudingan miring itu dialamatkan kepada Islam.
Keempat, kejadian pengeboman itu dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan di wilayah negara lain, meskipun yang menjadi obyek atau target sasaran adalah hotel hasil investasi asing. Sehingga bagi kita yang berpikiran waras, tentu tidak akan mungkin menuding bahwa dalang di balik kasus pengeboman tersebut adalah putra terbaik bangsa yang memiliki jiwa dan semangat Indonesia. Lantas siapa kira-kira yang kemungkinan menjadi dalang pengeboman itu?
Dalam kaitan persoalan yang amat sangat rumit ini, kita memang kerap atau tidak jarang dibingungkan oleh berlalu-lalangnya berbagai macam paham yang melintas di benak kita. Karena itu dalam pikiran dan bayangan orang-orang yang tergolong sederhana, sulit rasanya
Ke bagian 2